Pengaruh Politik Dalam Penegakan Hukum
Pengaruh Politik Dalam Penegakan Hukum
Penegakan hukum di Indonesia dinilai masih belum lepas dari intervensi politik. Intervensi tersebut tidak hanya pada proses pembentukan produk hukum, namun juga pada proses-proses pelaksanaannya di lembaga peradilan. Menurut Ikrar Nusa Bakti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, diungkapkan dalam Diskusi Intervensi Politik Terhadap Penegakan Hukum dan HAM di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Rabu (25/2).
Menurut Ikrar, meski Indonesia sudah lepas dari era pemerintahan otoriter, namun adanya intervensi poiltik masih belum dapat dilepaskan. Hal ini bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Sementara Todung menjelaskan, Indepedensi peradilan itu hanya mitos yang tidak pernah ada dalam kenyataan. Todung mencontohkan, dalam pemilihan hakim agung. Calon hakim yang diseleksi Komisi Yudisial pada akhirnya diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat. "Di sinilah transaksi politik terjadi. orang-orang yang dikirimkan ke Mahkamah Agung merupakan hasil kompromi politik. Memang ada hakim karir, tapi bahkan mereka pun tidak bebas dari transaksi politik. Menurut Todung, indepedensi peradilan ini akhirnya akan bermuara pada lembaga-lembaga peradilan. Kata dia, lembaga-lembaga tersebut perlu ditata ulang lagi. Selain lembaga peradilan, reposisi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat juga harus dilakukan.
Produk hukum yang dihasilkan masih lebih mementingkan kepentingan dan kompromi politik dibandingkan rakyat. Hal ini dapat terlihat banyak produk hukum yang dihasilkan di DPR justru kemudian diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, menurut Wahyudi Jafar dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), proses pembentukan UU memang tidak dapat dilepaskan dari adanya transaksi poltik. Namun yang terpenting juga adalah bagaimana agar proses pelaksaan penegakan hukum oleh lembaga peradilan menjadi mandiri.
Adanya diskriminasi penegakan hukum. Harus diakui bahwa proses hukum kasus korupsi, khususnya yang berhubungan dengan korupsi DPRD dan Kepala Daerah kental dengan nuansa diskriminasi. Namun diskriminasi ini harus dipandang dalam konteks keadilan masyarakat, yakni ketika para koruptor diberikan kekhususan penanganan dibandingkan dengan kejahatan lainnya. Tidak mengeksekusi anggota DPRD yang telah dinyatakan bersalah dan mendapatkan putusan tetap (in krahct) merupakan kebijakan diskriminatif. Tidak memproses secara adil semua pelaku korupsi APBD juga diskriminatif.
Akan tetapi, penyikapan politik dengan meminta pembersihan nama baik anggota DPRD/Kepala Daerah akibat dari perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum merupakan agenda yang telah keluar dari visi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, penyikapan politik demikian tak lebih dari upaya untuk melindungi politisi daerah dari jangkauan hukum, dengan berlindung dibalik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota DPR RI. Seharusnya ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR RI secara konsisten mendesak aparat penegak hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat. Tidak justru sebaliknya, meneriakkan adanya diskriminasi, akan tetapi membuat rekomendasi yang diskriminatif pula.
Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang memberikan kontribusi pengaruh pada mekanisme penegakan hukum, yaitu pertama, faktor hukum (subtance) atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.
Kedua pandangan di atas tampaknya saling berkesesuaian. Kelima unsur sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto dapat direduksikan menjadi tiga unsur sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo. Sebaliknya ketiga unsur yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dapat pula dirinci lebih lanjut menjadi lima unsur seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.
Telah lazim diungkapkan bahwa hukum khususnya dalam bentuknya sebagai undang-undang merupakan produk politik, artinya ialah bahwa undang-undang dibentuk sebagai hasil kompromi dari berbagai kekuatan sosial dan kemudian diberlakukan dan ditegakkan sebagai sarana untuk merealisasikan kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada. Secara ideal kepentingan-kepentingan yang dilindungi tersebut meliputi kepentingan individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.
Moh. Mahfud MD mengatakan dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum, bahwa dalam kenyataannya produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada di dalam hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak yang saling bersaingan. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa dalam hubungan antara subsistem hukum dan subsistem politik hukum, politik ternyata memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah.
Posting Komentar untuk "Pengaruh Politik Dalam Penegakan Hukum"