Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum dan Kekuasaan Dalam Berpolitik

Hukum dan Kekuasaan Dalam Berpolitik

Hukum dan Kekuasaan

Menurut John Austin, seperti dikutip oleh Lili Rasyidi mengemukakan bahwa Law is a command of the lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan.

Dengan demikian kita dapat mengatakan negara adalah ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang di ambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit. Pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik yang dituangkan ke dalam aturan-aturan yang secara formal di undangkan. sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik penguasa.



Pemerintah pada intinya merupakan pelaksana kehendak negara yang tidak lain merupakan manifestasi dari sistem politik. Pemerintah merupakan sebagian kecil dari keseluruhan anggota masyarakat dalam suatu negara yang diberi tugas untuk menyelenggarakan kekuasaan negara. Hukum itu merupakan satu sistem yang tetap, logis dan tertutup, oleh karena itu hukum dibedakan dalam dua jenis yaitu hukum dari tuhan untuk manusia (the divine law) dan hukum yang dibuat oleh manusia. Dalam diri hukum itu sendiri sebenarnya terdapat empat unsur yaitu perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (sovereignty).

Pandangan realisme hukum, menjelaskan bahwa hukum itu tidak selalu sebagai perintah dari penguasa negara, sebab hukum dalam perkembangannya  selalu dipengaruhi oleh berbagai hal. Hukum adalah hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial dalam kehidupan bersama dalam suatu negara. Hukum pada dasarnya tidak steril dari subsistem kemasyarakatannya. Politk sering kali melakukan intervensi atas perbuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan politk yang lebih suprematif. Pertanyaan ini muncul disebabkan karena banyaknya peraturan hukum yang tumpul dalam memotong kesewenang-wenangan, hukum tak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai masalah yang seharusnya menjadi tugas hukum untuk menyelesaikannya. Bahkan dewasa ini banyak produk hukum lebih banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan.

Masalah kekuasaan (authority) merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia, bahkan sering dijadikan ajang konflik untuk mendapatkannya. Dalam kaitan ini Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Lili Rasjidi menjelaskan bahwa hukum dalam pelaksanaannya memerlukan kekuasaan untuk mendukungnnya. Kekuasaan itu diperlukan karena hukum itu bersifat memaksa, tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum akan menjadi terhambat. Semakin tertib dan teratur masyarakat, semakin berkurang pula dukungan kekuasaan yang diperlukan.

Jika hal yang terakhir ini ada dalam masyarakat, berarti dalam masyarakat itu sudah ada kesadaran hukum masyarakat untuk taat dan patuh pada hukum tanpa ada paksaan dari pemegang kekuasaan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan suatu hal yang penting digunakannya kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak rakyat. Oleh karena itu disamping keharusan adanya hukum sebagai pembatas, juga diperlukan unsur lain yang harus dimiliki oleh pemegang kekuasaan seperti watak yang jujur dan rasa pengabdian terhadap kepentingan masyarakat yang tinggi.

Dalam pandangan Van Apeldoorn hukum itu sendiri sebenarnya merupakan kekuasaan. Hukum juga merupakan salah satu sumber daripada kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, inteligensia, dan moral). Selain itu hukum juga merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh karena biasanya kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya.

Sehubungan dengan hal ini Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa baik buruknya sesuatu kekuasaan sangat tergantung dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Artinya baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur.

Moh. Mahfud MD dengan mengutip pendapat Dahrendorf mencatat ada enam ciri kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik yaitu pertama jumlahnya selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai, kedua memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa kekayaan material, intelektual, dan kehormatan moral, ketiga dalam pertentangan selalu terorganisir lebih baik daripada kelompok yang ditundukkan, keempat kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan dalam bidang politik sehingga elite penguasa diartikan sebagai elite penguasa dalam bidang politik, kelima kelas penguasa selalu berupaya monopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas / kelompoknya sendiri, keenam ada reduksi perubahasan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan karatkter produk hukum tertentu di negara tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politik berciri demokratis maka produk politiknya berkarakter responsif (populistik), sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya bercorak ortoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks (konservatif / elitis). Perubahan konfigurasi politik dari ortoriter akan melahirkan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang ortoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif.

Dalam era reformasi saat ini, konfigurasi politik demokratis, dengan ditandai banyaknya produk-produk politik penguasa melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam mengambil keputusan. Dalam pelaksanaan konfigurasi politik demokratis yang sedang maraknya saat ini, agar tidak kebablasan maka perlu di ingat tentang tujuan politik nasional Indonesia yang di dasarkan pada perjuangan bangsa Indonesia yang telah berhasil merebut kemerdekaannya, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 untuk mengisi kemerdekaan tersebut guna mencapai masyarakat adil dan makmur.

Posting Komentar untuk "Hukum dan Kekuasaan Dalam Berpolitik"